Perjalanan Si Broken Home. - Part 1
Hallo!
Maaf sebelumnya, mulai saat ini saya tidak bisa
menyebutkan identitas saya yang sebenarnya. Demi menjaga nama baik dan perasaan
pihak-pihak yang terkait dengan kehidupan saya sampai saat ini. Dimohon
pengertian pembaca, ya.
Saya adalah seorang wanita usia 21 tahun. Saya sedang
menyelesaikan masa perkuliahan tingkat akhir. Dan saat ini saya sedang
melaksanakan magang atau Praktek Kerja Lapangan (PKL) di salah satu kantor BUMN
di Kota Kembang, Indonesia. Saya akan kembali aktif menuliskan kisah hidup saya
di blog ini, setelah 3 tahun fakum menulis di dunia manapun. Oh iya, perlu
diketahui. Saya adalah seseorang yang senang sekali mendengarkan orang lain
berbagi pengalaman hidupnya. Saya senang bercerita dan melakukan aktifitas
berkomunikasi maupun social. Jadi, suatu kehormatan untuk saya, bila saya dan
anda (para pembaca blog sisiseseorang)
ini bisa saling berbagi dan saling membantu satu sama lain untuk keluar dari
problematika kehidupan.
Baiklah, saya mulai.
Saya adalah anak pertama dari (awalnya) dua bersaudara.
Saya mempunyai satu adik laki-laki (awalnya). Umurnya hanya berbeda 1 tahun 3
bulan. Di rumah, ada saya, adik laki-laki saya, ibu dan ayah. Saya adalah cucu
pertama bagi nenek dan kakek dari ayah saya. Bisa kalian bayangkan betapa
dimanjanya cucu pertama bukan? Yah, namun karena kondisinya saat itu saya masih
bayi sampai umur 6 tahun, saya tidak begitu merasakan hal-hal yang kata orang “sangat
disayang” itu. Karena, ketika umur saya genak 6 tahun, kedua orang tua saya
bercerai, dengan sangat tidak baik-baik. Ketika proses perceraian dan
perpindahan rumah, saya dan adik saya dititipkan ke rumah Uwa (kakak dari ibu).
Saya banyak bertanya-tanya di hari itu, kenapa saya dan adik saya berhari-hari
tinggal disana, sampai meninggalkan sekolah. “Engga apa apa, Neng. Ibu sama
Ayah lagi banyak kerjaan dirumah. Jadi, disini dulu ya. Main aja sama teteh (anak-anak
Uwa), ya.”, penjelasan singkat yang belum menjawab semua rasa penasaran saya.
Hingga tiba hari dimana saya dijemput Ibu saya, dan pergi ke rumah baru.
Sejujurnya, sebelum hari-hari penuh rasa penasaran di
rumah Uwa ini, saya sempat melihat banyak moment dimana kedua orang tua saya
bertengkar hebat diruang tengah, pada malam hari, ketika saya dan adik sudah
terlelap tidur. Sejak usia sekitar 4 tahun. Pada nyatanya, saya selalu belum
tidur. Saya mengalami semacam insomnia dari kecil, dan hanya bisa tidur ketika
mendengar suara adzan Subuh. Sebabnya? Hingga saat ini saya belum tahu pasti.
Tapi, memang ada beberapa kemungkinan. Dan kebetulan, kemungkinan-kemungkinan
ini ada diluar topic postingan saya kali ini hehehhe, jadi dilain kesempatan
saja yah kita bahasnya hehehe. Saya melihat kedua orang tua saya bertengkar
terus menerus dari balik pintu kamar orang tua saya. Saya tidak mengerti mereka
membicarakan apa, tapi tampak jelas dari raut wajahnya, mereka sebenarnya sudah
sama-sama lelah dengan keadaan ini. Hingga tiba waktunya, untuk berpisah. Dan
terhitung sampai usia saya saat ini, baru 3-4 kali saya bertemu dengan ayah
dari usia 6 tahun.
Saya dan adik saya ikut dengan Ibu. Ibu dan Ayah sama-sama bekerja dari pagi hingga malam. Saya dan adik dirumah dengan pengurus anak dari kecil. Dan ketika Ibu dan Ayah berpisahpun, Ibu masih terus bekerja. Di rumah ada bibi yang suka membantu membereskan rumah. Hari demi haripun berlalu tanpa Ayah dirumah baru. Aku sadar, tingkahku yang dewasa sebelum waktunya, kadang membuat Ibu kesal dan gerah. Seperti memberi saran kepadanya ketika beliau cerita tentang hubungan beliau dengan ayah memburuk. Ketika aku memberi pendapat lain terkait keputusanku kala itu. Selalu saja ditolak mentah-mentah, tidak pernah didengar dan tidak mau menerima saran apapun. Tanpa alasan. Ketika beliau pulang kerja sekitar pukul 20.00 WIB, aku selalu meminta tolong untuk membantu menyelesaikan PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah. “Telfon temen aja, ibu capek. Ini HP ibu, kamu ada nomor temen kan?”, jawabnya. Dan itu terjadi selama 6 tahun, ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat kelas 1 SD, selama setahun aku diantar sekolah oleh ibu. Sembari beliau berangkat kerja. Namun, tahun-tahun berikutnya tidak. Aku sudah naik angkutan umum, dan kadang diantarkan oleh ojek kepercayaan ibu.
Saya tidak begitu ingat, antara kelas 2 SD atau 3 SD,
ibu mulai sering didatangi seorang laki-laki ke rumah ini. Hampir tiap malam.
Dan mulai dikenalkan kepadaku. Dan ternyata, itu calon papah baru. Awalnya aku
tidak tahu. Dan sekarangpun, aku lupa. Apa pernah Ibu bertanya, “Kalau ibu
menikah lagi, teteh mau punya papah baru?”. Entah, aku tidak ingat, atau memang
tidak pernah. Dan lalu, ibu akhirnya menikah dengan papah. Seorang duda
ber-anak 2, laki-laki anak pertama dan perempuan anak kedua. Asal kalian tahu,
setiap kali aku difoto dari kecil sampai usiaku 13 tahun, aku tidak pernah
tersenyum. Termasuk foto keluarga pertama saat ibu menikah dengan papah. “Teh,
Kang (kakang adalah panggilan untuk adik saya). Manggilnya jangan ayah ya, tapi
papap. Inget, papap.”, pinta ibu kepada kami. Saat itu kami iya iya saja. Tidak
bertanya karena takut. Namun rasa penasaran ini akhirnya terjawab, oleh waktu.
Ketika usiaku 9 tahun 5 bulan, aku dianugrahi adik
laki-laki lagi. Hasil pernikahan ibu dan papah. Saya sangat menyayanginya,
hingga saat ini, dan tidak sama sekali mengingat, bahwa dia bukanlah adik yang
sama bapak. Saya, Kakang, Adik kecil dan kedua anak dari papah sangat akrab
kala itu. Tapi, saya dan papah sama sekali tidak akrab. Meskipun ia selalu
berusaha berbuat baik pada saya, tapi saya tidak bisa merasakan itu. Anak-anak
papah sering main kerumah, kala akhir pekan. Hingga suatu saat, ibu terkena
tipu milyaran rupiah dari seseorang. Dan harus membayar hutang dalam waktu
singkat. Ditambah, ibu kena guna-guna dan sakit parah berkelanjutan. Sering
mengigau tentang keberadaan orang tuanya, yang sudah tidak ada di bumi ini
lagi. Dan itulah, awal semua ini terjadi.
Kebahagiaanku setelah kejadian itupun, satu persatu
diambil kembali oleh Allah.
Sesampainya di usia 14 tahunku, semua telah berubah. Aku
mulai banyak berfikir, untuk mengakhiri hidupku. Ibuku ditipu milyaran rupiah,
aku mulai diberitahu ibuku untuk tidak menggunakan nama belakangku dimanapun
(nama belakang adalah nama ayah), aku mulai diberitahu bahwa ayah tidak pernah
membiayaiku selama ini yang padahal ada hukum dari pengadilan bahwa ada hak
anak yang harus diberikan dari ayah sebulan sekali, ibu mulai sakit-sakitan,
ibu mulai menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja, ibu ketahuan selingkuh
(menurutku, karena tidak cukup mendapat kasih sayang dari papah, yang memang
setelah kejadian ibu kena tipu ini, papah berubah drastis), ibu dan papah
hampir cerai lagi, tapi tidak jadi karena papah
tidak bisa mengurus dirinya sendiri, dan kian hari hubungan papah dan
ibu tidak kunjung membaik. Malah sebaliknya.
Ketika ibu belum ketahuan selingkuh, saya sempat
melihat seorang laki-laki terus chatting dengan ibu. Tanpa membuka isi chat
keseluruhan, chat yang terlihat paling atas memang bunyinya sudah sama-sama
seperti saling menggoda. Dan saya sudah punya firasat buruk akan hal ini.
Akhirnya terjadi. Ketika saya sedang setrika baju, papah teriak kencang sekali.
“(nama saya)!!! INI LIHAT KELAKUAN IBU KAMU!!! APA APAAN WARNA CELANA DALAM
SAMPAI DISEBUT-SEBUT!!! SAKIT HATI PAPAH!!! KALAU UDAH GAK SAYANG, BILANG!!! GA
PERLU SELINGKUH!!!”, teriaknya didepan mukaku. Saat itu aku yang sedang
memegang setrika yang sangat panas, ingin rasanya menaruh setrika itu ke
seluruh badanku. Aku menangis tanpa suara setelah kejadian itu. Adik adikku
keluar dari kamarnya masing-masing. Dan aku melihat mereka kebingungan, dan
mengajak mereka masuk ke kamarku dan saling berpelukan. “Teteh tau ini semua
menakutkan. Jangan khawatir, ini akan segera selesai.”, semangatku kepada
mereka. Mereka hanya mengangguk-ngangguk. Yang memang sebenarnya, akupun butuh
semangat macam ini.
Kalian bisa bayangkan bagaimana rasanya itu?
Bagaimana rasanya ketika kalian ingin melindungi ibu,
yang membesarkan saya hingga saat itu, namun tahu posisi bahwa beliau salah?
Bagaimana rasanya ketika kalian ingin melindungi
kedua adik kalian, agar tidak rusak seperti kalian?
Terkadang aku berfikir, kenapa seberat ini cobaan
Allah. Apa aku sekuat ini?
Apa Allah tidak salah dalam memilih umatnya?
Apa aku sanggup melewatinya?
Apa aku cukup kuat?
Apa aku bisa?
(kisah berlanjut di part 2)
Comments
Post a Comment