Perjalanan si Broken Home. - Part 2


(lanjutan part 1)

Setelah kejadian pembantaian mental dan perang batin malam itu, kami berkemas untuk pindah rumah.
“Udah ya teh, kang, kita emang udah bahagia bertiga. Sekarang berempat sama ade.”,peluk ibu kepada kami berdua sembari menangis sesampainya kami dikontrakan baru. Aku sudah lelah malam itu, kami sampai di kontrakan jam 02.00 WIB dini hari. Sudah lelah fisik, dan mental. Dan kami tidur tanpa ada kegiatan beres-beres dan menata barang. Besoknya, kami disuruh kembali ke rumah bersama papah.

Setelah kembali, tidak ada rasa respect sedikitpun yang ku perlihatkan pada papah. Entah mengapa, memang seharusnya tidak boleh begitu. Tapi, aku hanya tidak suka. Sekeras-kerasnya ibu padaku, aku tetap tidak terima kalau ada yang membentaknya, apalagi dihadapanku. Tidak peduli siapapun yang membentaknya, aku tidak akan pernah bisa baik dengan tulus kepada siapapun yang membentaknya. Semenjak perceraian ibu dan ayah, ibu selalu cerita kepadaku tentang ayah, kehidupannya dikantor, dan bagaimana beliau sering sakit hati gara-gara papah.

Ibu dan papah memang tinggal serumah. Tapi, rumah ini terasa bukan rumah apabila ada papah. Kami sekeluarga pernah selama 3 tahun tinggal diluar kota, karena dinas keluar kota. Banyak hal yang kami lalui diluar kota. Tapi, agar lebih singkat aku ceritakan hal-hal yang membuatku muak aja ya hehe. Pada suatu hari, barang milik papah tidak ada ditempat asalnya. Ibuku mengatakan tidak tahu menau soal barang itu. Kesalah pahaman sedikitpun, pasti jadi topic untuk berantem. Akhirnya merekapun bertengkar, dan ibu datang ke kamarku sembari menangis hebat.

“Kenapa lagi sih bu?”, tanyaku gerah.

“Flashdisk papah ilang, ibu disalahin. Ibu ga boleh ga tahu apa apa, tapi papah ga pernah ngasih tau apa apa ke ibu. Selalu sendiri, gimana ibu bisa tau teh. Ditanya udah, ga pernah mau ngasih tau.”, jawab ibuku sambil menangis.

“Flashdisk warna apa?”, tanyaku balik.

“Flashdisk putih. Ibu ga pernah liat.”, jelas ibuku.

“Ini bukan? (aku menunjukkan flashdisk yang pernah diberikan papah untukku)”, tanyaku untuk memastikan.
“Ga tau teh. Itu dapet dari mana?”, heran ibuku.

“Dari papah.”, jawabku ketus sembari langsung mencari papah dirumah dan memberikan kembali flashdisknya.

Setelah ketemu….
“Inikan? Waktu itu dikasih ke saya sama papah sendiri. Udah ga usah marahin ibu.”, jelasku pada papah sembari kembali ke kamar.
“Udah bu. Udah dikasih ke papah.”, jelasku pada ibu.
“Makasih banyak ya teh. Maaf ibu datang ke kamar nangis-nangis gini.”, sembari kembali keluar dari kamarku.

Sekeluarnya ibu dari kamarku, emosi ku naik tak terhingga.
Aku  membanting tugasku yang saat itu sedang ku selesaikan. Dipikiranku saat itu, “kalau memang sudah ga sayang sama ibu, kalau benci sama ibu, kenapa ingin terus tinggal satu rumah? Kenapa masih ingin bertahan? Demi apa? Demi adek? Kalo iya, kenapa ibu ga mau bertahan dengan ayah? Ato demi yang lain? Demi aku dan kakang bisa sekolah? Kami ga perlu sekolah mahal-mahal, asal bahagia bersama, dan benar-benar tinggal di rumah, itu sudah cukup”. Karena yang aku, ibu dan kakang rasakan, kalau papah ada dirumah, kegiatan kami semua terbatas. Dan rumah ini, hanya sebuah bangunan, bukan perasaan, atau hubungan.

3 tahun berlalu, aku pindah ke Bandung duluan. Karena aku melanjutkan pendidikanku di Bandung. Papah merenovasi rumah kami di Bandung. Akhirnya aku hidup selama satu tahun di rumah yang sedang renovasi besar-besaran, Dan hanya menyisakan satu kamar tidur dan satu kamar mandi untukku sehari hari. Dan tukang-tukang bangunan yang berkeliaran dirumahku. Debu sering memasuki kamar tidur dan kamar mandiku setiap hari. Ketika aku harus ke kamar mandi, aku akan melihat langit-langit terlebih dahulu. Dan ketika listrik mati karena hujan, aku harus berkemas ke rumah sodara atau kosan teman. Ketika hujan tibapun, kamar tidur tergenang air setinggi mata kaki. Aku sudah meminta ijin untuk nge-kos saja di dekat kampus. Tapi tidak dibolehkan oleh ibu. Katanya, bayar mahal kasian papah. Toh ada rumah di satu kota dengan kampusku. Sabar. Itu saja pesannya.

Papah pun duluan dari Surabaya karena sudah dialih tugaskan lagi ke Cirebon. Lebih dekat ke Bandung daripada dari Surabaya, kota yang kami tinggali selama 3 tahun belakangan. Papah sering bolak-balik Bandung-Cirebon tiap akhir pekan. Dan tidur sekamar denganku, karena memang tidak ada kamar tersisa. Dengan terpaksa aku mengiyakan. Aku tidak pernah cerita kepada siapapun tentang ini. Tapi, aku tidak kuat. Dan akhirnya aku cerita pada ibuku, meski belum lama ini. Bahwa selama setahun papa sekamar denganku, aku sering diperlakukan tidak enak ketika sedang tidur. Atau lebih tepatnya, dilecehkan. Dan berawal dari pijatan.

Ketika ibu tahu tentang ini, ibu menangis sekencang-kencangnya sembari memeluk dan meminta maaf padaku, “Berarti selama ini teteh nyimpen semua ini sendiri? Selama ini? Kenapa baru cerita setelah 2 tahun berlalu tehh? Maafin ibu gabisa jagain anak gadis ibu satu-satunya. Ibu pikir baik baik aja. Toh papah juga ngerti agama. Meskipun sayang, tapi ga seharusnya sampai begitu. Maafin ibu ya teh…. Maafin ibu udah lalai… Maafin ibu…”, pintanya padaku.

(lanjut di part 3)

Comments

Popular posts from this blog

Fungsi Pajak

Gundah Gulana

Unforgottable Moment VI ˚⌣˚