Rindu dari Si Hati Kecil (Isi Hati Anak Broken Home)
Hari demi hari di kantor, tempat ku magang, pun silih
berganti. Dari hari ke hari, aku semakin hafal dan mengenal karyawan disini.
Hingga di suatu hari, bangku ku dipindahkan ke ruangan lain demi bisa mempelajari
hal-hal lain diluar bidangku, dan diharapkan aku bisa menguasainya. Di ruangan
itu hanya ada 2 orang bapak-bapak, dan akhirnya ditambah aku, jadi kami
bertiga. Anggap saja ada bapak A, dan bapak B. Hubunganku dengan bapak A sudah
cukup kenal dan akrab, karena memang dari pertama aku menanyakan prosedur
magang di kantor ini, sudah melalui beliau. Sedangkan dengan bapak B, hanya
sebatas kenal. Bahkan mengobrolpun belum pernah yang berisikan sesuatu.
Selang beberapa jam, bapak A ditugaskan keluar kota
untuk menghadiri konferensi. Dan akhirnya aku di ruangan itu berdua dengan
bapak B saja. Kondisi dan keadaan bapak B sudah tua, dan sedang sakit stroke. Hanya
tangan kirinya lah yang masih berfungsi dengan normal. Tapi semangat untuk
sembuh, tak pernah padam. Setiap hari, sembari dibantu oleh security dan
karyawan lainnya, beliau selalu dibantu untuk berlatih jalan dan menggenggam
sesuatu, agar fungsi kaki dan tangannya kembali normal. Aku memang tipe orang
yang cukup canggung dengan orang baru, terlebih kalau dalam satu ruangan ada
dua atau lebih orang lama yang tidak cukup ku kenal. Tapi, kalo satu orang, aku
masih bisa mengatur suasana, sih. Hehe. Dan akhirnya aku ditinggal oleh bapak A
untuk bertugas seharian. Aku mengumpulkan keberanian penuh di hati dan otak
untuk mencoba lebih akrab dengan bapak B. kalau dilihat dari usia, baik usia
bapak A maupun bapak B sudah diatas usia bapakku sendiri.
Awalnya memang bingung ingin membuka obrolan mulai
darimana. Tapi, aku jauh lebih tidak nyaman kalau sedang ada di satu ruangan
dengan seseorang, dan tidak mulai membicarakan sesuatu. Aku lebih memilih untuk
menyendiri ke suatu tempat ketimbang bedua di suatu ruangan tapi keduanya
saling membisu. Akhirnya aku mulai membuka pembicaraan dengan menanyakan
bagaimana ia memulai karirnya di kantor tempat ia bekerja ini. Dan setelah dari
sana, mulai banyaklah topic yang kami bicarakan, mulai dari sejarah kantor ini,
bagaimana ia bisa bertahan sampai hari ini di kantor, peraturan perihal pensiun
dan tunjangan, anak-anak, cucu, bahkan bagaimana awal mula ia bisa bertemu
dengan istrinya di kantor ini. Dan sejujurnya, ketika beliau menceritakan
tentang anaknya, pemahamanku tentang perasaan seorang ayah kepada anaknya mulai
terbuka sedikit demi sedikit. Akupun mulai bertanya-tanya, apakah ayahku yang
entah ada dimana sekarang, memiliki perasaan seperti itu juga? Dan ada perasaan
iri di hati yang muncul ketika aku mendengar cerita ayah dan anak ini, “masa
kecil ku sudah lewat, dan masa remajaku sudah hampir selesai. Percuma aku
memiliki rasa iri ini sebenarnya, tapi, masih ada rasa ingin mempunyai
kenangan-kenangan seperti itu dengan seorang ayah. Kenangan-kenangan bahagia,
ditiap masa tumbuh kembangku.”, ujarku dalam hati.
Waktupun tak terasa terus berlalu semakin cepat
karena obrolan hari itu. Dan tanpa aku sadari, aku bisa menilai bahwa aku bisa
seakrab itu dengan bapak B, bahkan tingkat keakrabannya hampir sama dengan
bapak A yang lebih dulu aku kenal ketimbang bapak B. Dan hal ini ku lakukan
dalam satu hari, bahkan kurang. Aku senang berbagi cerita tentang pengalaman,
karena dari cerita yang bobotnya cukup berat itu, aku menilai bahwa orang yang
bercerita soal pengalamannya kepadaku itu berarti dia sudah percaya kepadaku.
Dan aku sangat menghargai sebuah kepercayaan, sekecil dan seringan apapun itu.
Dengan kata lain, dia mengijinkan aku untuk lebih mengenalnya dan mengintip
sedikit kehidupannya.
Boleh dikatakan, selama dikantor aku memang banyak
lebih kenal dan akrab dengan bapak-bapak ketimbang ibu-ibunya disini. Entahlah,
kenapa bisa lebih cepat akrab dengan bapak-bapaknya. Mungkin, sikap laki-laki
yang lebih supel dengan orang lain, atau…
Karena aku menganggap mereka sebagai sosok ayahku
yang sudah lama hilang dari hidupku?
Dengan luwesnya aku bercerita dengan mereka, dengan
asyiknya aku mendengar pengalaman dan masukan-masukan dari mereka, dan dengan
terbukanya merekapun mendengarkan keseharianku dan ceritaku.
Dibilang rindu dengan ayah?
Sebenarnya ga rindu. Karena memang ga lama aku
bersama dengan ayahku. Jadi, kenangan yang kuingat dan ku rasakan tidak banyak.
Tapi, hati kecilku sepertinya menolak otak yang berasumsi bahwa aku tidak merindukan
ayahku. Hati kecil memang tidak pernah bisa berbohong ya. Sepertinya, hati kecil ini terus mencari bentuk
kasih sayang seperti apa yang sebenarnya diberikan oleh laki-laki, atau lebih
tepatnya… Dari seorang ayah.
Comments
Post a Comment